Kamis, 15 Mei 2014

Stop Bid’ah



عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِينَ أُمِّعَبْدِاللَّهِ عَائِشَة َرَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدّ ٌ. (رواه البخاري و مسلم و في رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أضمْرُناَ فَهُوَ رَدّ ٌ)

Dari Ummul Mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullahu sholallahu  ‘alaihi wasallam bersabda, “ Siapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya(ajaran Islam), niscaya hal itu tertolak.” (Diriwayatkan oleh Bukhari (2697) dan Muslim (1718)). Dalam riwayat Muslim disebutkan, barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang bukan urusan (ajaran) kami maka hal itu tertolak).
 
Penjelasan:

1.            Imam An Nawawi:
           
 Sabda Rasulullahu sholallahu  ‘alaihi wasallam, “Siapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya(ajaran Islam), niscaya hal itu tertolak,” atau dikembalikan. Hadits ini sebagai petunjuk bahwa sesungguhnya ibadah-ibadah seperti mandi, wudhu, puasa, dan sholat, jika dilakukan menyalahi syari’at maka pelakunya ditolak dan harus dikembalikan kepada orang yang bersangkutan. Artinya ia tidak bisa memiliki.
Seseorang berkata kepada Nabi sholallahu  ‘alaihi wasallam,” Sesungguhnya putraku ini bekerja pada si fulan, lalu ia menzinahi istri si fulan itu. Kata Anda putraku ini harus dihukum pancung, lalu aku tebus ia dengan seratus ekor domba dan seorang budak perempuan.” Beliau bersabda,” Budak perempuan dan domba dikembalikan kepadamu.”((Diriwayatkan oleh Bukhari (2724) dan Muslim (1697))
Ini menunjukkan bahwa orang menciptakan dalam agama suatu bid’ah yang tidak sesuai dengan ketentuan syari’at maka ia menanggung dosa, amalnya ditolak dan ia harus diancam dengan siksa. Rasulullahu sholallahu  ‘alaihi wasallam bersabda,” Barangsiapa mengada-adakan sebuah hadits atau mengaku sebagai seorang ahli hadits maka laknat Allah menimpanya.”((Diriwayatkan oleh Bukhari (1870) dan Muslim (1370))

2.            Imam Ibnu Daqiq:
            
 Menurut  para ulama ahli bahasa, kalimat “ar raddu” sama dengan “al mardud”’ yakni ditolak atau batal dan tidak dianggap.
Kalimat “Dalam urusan kami”, maksudnya ialah ketetapan kami. Hadits ini adalah kaidah besar di antara kaidah-kaidah agama, dan termasuk kalimat lengkap yang disampaikan oleh Rasulullah sholallahu  ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya beliau menolak bid’ah, dan yang setiap yang dibuat-buat. Hadits ini dijadikan dalil yang menganggap batal semua akad yang dilarang, sehingga tidak menghasilkan buahnya. Oleh sebagian ulama ahli ushul, hadits ini juga dijadikan sebagai dalil bahwa larangan itu menuntut pembatalan.


3.       Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:


Ahlul Bid’ah itu tidak bersandar kepada Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah serta Atsar Salafus Shalih dari kalangan Shahabat maupun Tabi’in. Mereka hanya berpedoman dengan logika dan kaidah bahasa. Dan kamu akan temukan mereka itu tidak mau berpedoman dengan kitab-kitab tafsir yang ma’tsur (bersambung riwayat dan penukilannya). Mereka hanya berpegang dengan kitab-kitab adab (sastra dan tata bahasa) serta kitab-kitab ilmu kalam (filsafat dan logika). Kemudian dari sinilah mereka membawakan pendapat dan pemikiran mereka yang sesat.” (Al Fatawa 7/119)


4.    Imam Abu ‘Utsman Ismail Ash Shabuni rahimahullah mengatakan:
Dalam (Aqidah Salaf Ashabul Hadits halaman 114-115) –ketika menerangkan sikap dan pendirian Salafus Shalih terhadap bid’ah dan Ahlul Bid’ah– :

Salafus Shalih membenci Ahlul Bid’ah yang (mereka itu) mengada-adakan perkara baru dalam agama ini yang (justru) bukan berasal dari agama itu sendiri. Salafus Shalih tidak mencintai Ahlul Bid’ah, tidak mau bersahabat dengan mereka, tidak mendengar perkataan mereka, tidak duduk bermajelis dengan mereka, tidak berdebat dengan mereka dalam masalah agama, bahkan tidak mau berdialog dengan mereka. Salafus Shalih selalu menjaga telinga jangan sampai mendengar kebathilan Ahlul Bid’ah yang dapat menembus telinga dan membekas di dalam hati, dan akhirnya menyeret segala bentuk was-was dan pemikiran-pemikiran yang rusak.”


5.   Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

(Dalam Ath Thariq Al Hakimiyah halaman 227) : “Tidak perlu adanya jaminan (minta izin) untuk membakar buku-buku sesat dan memusnahkannya.”

Beliau melanjutkan : “Semua kitab-kitab tersebut isinya mengandung berbagai perkara yang menyeleweng dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tanpa ada tuntunan di dalamnya, bahkan diizinkan untuk merusak dan memusnahkannya. Tidak ada yang lebih besar bahayanya bagi umat ini dibandingkan dengan buku-buku tersebut. Para Shahabat telah membakar segenap mushaf yang menyelisihi mushaf ‘Utsman karena mereka takut akan bahaya yang menimpa umat ini akibat perbedaan yang terdapat dalam mushaf-mushaf tersebut. Lalu, bagaimanakah halnya seandainya mereka (para Shahabat tersebut) melihat kitab-kitab sesat yang telah menimbulkan perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah ummat ini??” (Ibid halaman 327-328)

Demikian kata beliau. Maksud ucapan beliau ini adalah, bahwa segenap kitab sesat yang mengandung kedustaan dan kebid’ahan, wajib dirusak dan dimusnahkan dan ini lebih utama (lebih besar pahalanya) daripada merusak alat-alat permainan atau alat-alat musik dan merusak bejana-bejana tempat menyimpan khamer (segala yang memabukkan), karena mudlarat (kerusakan) yang ditimbulkan kitab-kitab sesat ini jauh lebih besar daripada mudlarat yang ditimbulkan oleh alat-alat permainan, musik, ataupun khamer. Maka tidak perlu jaminan (minta izin) untuk merusak dan memusnahkannya sebagaimana tidak perlu jaminan (minta izin) untuk merusak bejana-bejana penyimpanan atau penampungan khamer. (Ibid. Halaman 329)



6.    Sa’id bin ‘Amru Al Bardza’i mengatakan:


Saya menyaksikan Abu Zur’ah ketika ditanya tentang Al Harits Al Muhasibi dan kitab-kitabnya, mengatakan kepada si penanya : ‘Jauhilah oleh kamu kitab-kitab bid’ah dan sesat ini. Hendaknya kamu berpegang dengan atsar (riwayat) Salafus Shalih, karena sesungguhnya kamu akan dapatkan darinya sesuatu yang mencukupi kamu.’ Ada yang berkata kepada beliau : ‘(Tapi) di dalam kitab-kitab ini terdapat ‘ibrah (pelajaran berharga).’

Abu Zur’ah mengatakan : ‘Barangsiapa yang tidak dapat mengambil pelajaran dari dalam Kitab Allah, maka tidak ada pelajaran (‘ibrah) baginya dari kitab-kitab ini. (Bukankah) telah sampai kepada kalian bahwa Sufyan, Malik, dan Al Auza’i telah menulis kitab-kitab yang membahas tentang bahaya bisikan dan syubhat. Sungguh alangkah cepatnya manusia itu (terlempar) menuju bid’ah.’ “
ْ
Dinukil dari buku Syarah Arba’in Nawawiyah dan sumber lainnya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar