Bulan Sya’ban
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga
akhir zaman. Alhamdulillah, saat ini kita telah menginjak bulan Sya’ban. Namun
kadang kaum muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut.
Juga terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang
sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas
serba-serbi bulan Sya’ban. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong
dan mudahkanlah kami).
Keutamaan Bulan Sya’ban
Dari Usamah bin Zaid, beliau
berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa
selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ
شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ
تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ
عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana
manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut
adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh
karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan). Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits di atas
terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia
lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif,
235)
Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban
Terdapat suatu amalan yang dapat
dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding
bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى
نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ،
وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau
pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah
sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara
sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat
beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
juga mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ
شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ
إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya
sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Dari Ummu Salamah, beliau
mengatakan,
أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا
إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu
dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana
yashumu sya’ban kullahu)? Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat
ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu”
(seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya,
sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan
bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu
bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author,
7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa
di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.
Lalu Kenapa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak puasa penuh di bulan Sya’ban? An Nawawi rahimahullah
menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak
disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ” (Syarh Muslim, 4/161)
Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa
Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah
wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena
dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa
Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka
puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa
wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)
Hikmah di balik puasa Sya’ban
adalah:
- Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkala manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
- Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
memudahkan kita mengikuti suri tauladan kita untuk memperbanyak puasa di bulan
Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat
keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ
حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ،
وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ
الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ
اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan
diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku
telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia
gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan
untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang,
memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon
sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan,
pasti Aku akan melindunginya.”
(HR. Bukhari no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab)
akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada
pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang
seperti ini keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya) do’a. (Faedah dari Fathul
Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad)
Malam Nishfu Sya’ban, Malam
Diturunkannya Al Qur’an (?)
Di antara kaum muslimin ada yang
menganggap bahwa malam Nishfu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) adalah
malam yang istimewa. Di antara keyakinan mereka adalah bahwa malam tersebut
adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Sandaran mereka adalah perkataan ‘Ikrimah
tatkala beliau menjelaskan maksud firman Allah,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا
مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya
pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi
peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (Qs. Ad Dukhan: 3-4)
Yang dimaksud dengan malam yang
diberkahi dalam ayat ini adalah malam Lailatul Qadar, menurut mayoritas ulama.
Sedangkan ‘Ikrimah –semoga Allah merahmati beliau- memiliki pendapat yang lain.
Beliau berpendapat bahwa malam tersebut adalah malam nishfu sya’ban. (Zaadul
Maysir, 5/346)
Namun pendapat yang mengatakan bahwa
Al Qur’an itu turun pada malam Nishfu Sya’ban adalah pendapat yang lemah karena
pendapat tersebut telah menyelisihi dalil tegas Al Qur’an. Ayat di atas (surat
Ad Dukhan) itu masih global dan diperjelas lagi dengan ayat,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Dan dijelaskan pula dengan firman
Allah,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al Qur’an) pada Lailatul Qadr.” (Qs. Al Qadr: 1)
Syeikh Muhammad Al Amin Asy
Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Klaim yang mengatakan bahwa malam
yang penuh berkah (pada surat Ad Dukhan ayat 3-4) adalah malam Nishfu Sya’ban
–sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan lain-lain-, tidak diragukan
lagi bahwasanya itu adalah klaim yang jelas keliru yang menyelisihi dalil tegas
dari Al Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa apa saja yang menyelisihi al haq
(kebenaran) itulah kebatilan. Sedangkan berbagai hadits yang menerangkan bahwa
yang dimaksudkan dengan malam tersebut adalah malam Nishfu Sya’ban, itu
jelas-jelas telah menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas dan hadits tersebut
sungguh tidak berdasar. Begitu pula sanad dari hadits-hadits tersebut tidaklah
shahih sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul ‘Arobi dan para peneliti hadits
lainnya. Sungguh sangat mengherankan, ada seorang muslim yang menyelisihi dalil
Al Qur’an yang tegas, padahal dia sendiri tidak memiliki sandaran dalil, baik
dari Al Qur’an atau hadits yang shahih.” (Adhwaul Bayan, 1552)
Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban
dengan Shalat dan Do’a (?)
Sebagian ulama negeri Syam ada yang
menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul
ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani
Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa
berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a
atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu
yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban
dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak
ada tuntunannya (baca: bid’ah).
Namun bagaimanakah jika menghidupkan
malam Nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri
atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)?
Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya
adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah,
dan ulama Malikiyah- mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak
ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di
sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat dengan beberapa alasan berikut:
Pertama, tidak ada satu dalil pun
yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab
sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari
beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif,
248).
Seorang ulama yang pernah menjabat
sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syeikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Hadits yang menerangkan
keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa
dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat
pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’).
Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal
Bida’, 20). Begitu juga Syeikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah
bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau
pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan
malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan
penguat untuk hadits yang lemah tadi.” (At Tahdzir minal Bida’, 20)
Kedua, ulama yang mengatakan tidak
mengapa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan menyebutkan bahwa ada
sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka
adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut,
bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang
menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan
tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu
menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)
Ketiga, adapun orang-orang yang
berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam Nishfu
Sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil
pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan
menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah
tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita
beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)
Keempat, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى
وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ
“Janganlah mengkhususkan malam
Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at
dari hari lainnya untuk berpuasa.”
(HR. Muslim no. 1144)
Seandainya ada pengkhususan suatu
malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan
daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam
lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena
dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari
Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan
shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama
untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu
dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah
mengatakan, “Seandainya malam Nishfu Sya’ban, malam jum’at pertama di bulan
Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau
ibadah lainnya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
memberi petunjuk kepada kita umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri
merayakannya. Jika memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat radhiyallahu
‘anhum akan menyampaikan hal tersebut pada kita umat Islam dan tidak
mungkin para sahabat menyembunyikannya. Ingatlah, para sahabat adalah
sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus dalam penyampaian
setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah
mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil
yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat
yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari bulan Rajab dan keutamaan
malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu, menjadikan hari tersebut sebagai
perayaan termasuk amalan yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At
Tahdzir minal Bida’, 30). Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum
muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini. [Silakan lihat penilaian
kelemahan beberapa hadits mengenai malam Nishfu Sya'ban di akhir pembahasan
ini]
Adapun mengenai Shalat Alfiyah,
apakah shalat ini adalah suatu amalan yang dituntukan ketika malam Nishfu
Sya’ban?
Perlu diketahui, orang yang pertama
kali menghidupkan shalat ini pada malam Nishfu Sya’ban adalah seseorang yang
dikenal dengan Babin Abul Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448
H. Dia memiliki bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam Nishfu Sya’ban
dia melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di
belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang bermakmum di
belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya bertambah banyak.
Ketika datang tahun berikutnya, semakin banyak yang shalat bersamanya pada
malam Nishfu Sya’ban. Kemudian amalan yang dia lakukan tersebarlah di Masjidil
Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin, sehingga shalat tersebut seakan-akan
menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)
Lalu kenapa shalat ini dinamakan
shalat Alfiyah? Alfiyah berarti 1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di
dalam shalat tersebut dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat
tersebut berjumlah 100 raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas
sebanyak 10 kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh
karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.
Adapun hadits yang membicarakan
mengenai tata cara dan pahala mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa
riwayat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at
(Kumpulan Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang
membicarakan keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits
tersebut adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur
adalah majhul (tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat
yang lemah. Oleh karena itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin sebagai
dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130)
Puasa Setelah Pertengahan Sya’banAda beberapa lafazh yang membicarakan larangan puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)
Dalam lafazh lain,
إِذَا كَانَ
النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِىءَ رَمَضَانُ
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)
Dalam lafazh yang lain lagi,
إِذَا كَانَ
النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنِ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tahanlah diri dari berpuasa hingga datang bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad)
Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya.
Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,
لاَ
تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ
“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082). Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.
Al Atsrom mengatakan, “Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”
At Thahawiy sendiri mengatakan bahwa hadits larangan berpuasa setelah separuh Sya’ban adalah hadits yang mansukh (sudah dihapus). Bahkan Ath Thohawiy menceritakan bahwa telah ada ijma’ (kesepakatan ulama) untuk tidak beramal dengan hadits tersebut. Dan mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut.
Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)
Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ
يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim no. 1082)
Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:
Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.
Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.
Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri. Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)
Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan?
Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan.
Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib dan puasa sunnah. Dan memisahkan antara amalan yang wajib dan sunnah adalah sesuatu yang disyariatkan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyambungkan shalat wajib dengan shalat sunnah tanpa diselangi dengan salam atau dzikir terlebih dahulu. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)
Beberapa Hadits Lemah (Dho’if) dan Palsu (Maudhu’) di Bulan Sya’ban
[Hadits Pertama]
إِنَّ
اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ
الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan mengampuni dosa walaupun itu lebih banyak dari jumlah bulu yang ada di kambing Bani Kalb.” [Bani Kalb adalah salah satu kabilah di Arab yang punya banyak kambing]
Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Majah. At Tirmidzi mengatakan bahwa beliau mendengar Muhammad (yaitu Imam Bukhari) mendhoifkan hadits ini. (Lihat As Silsilah Ash Shohihah, no. 1144)
[Hadits Kedua]
إِذَا
كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ
شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا. فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ
فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ مِنْ
مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى
فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Apabila datang malam nishfu sya’ban, maka hidupkanlah malam tersebut dan berpuasalah di siang harinya. Karena ketika itu, Allah turun ke langit dunia pada malam tersebut mulai dari tenggelamnya matahari. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapa saja yang meminta ampunan, Aku akan mengampuninya. Siapa saja yang meminta rizki, aku pun akan memberinya. Siapa saja yang tertimpa kesulitan, Aku pun akan membebaskannya. Siapa pun yang meminta sesuatu, Aku akan mengabulkannya hingga terbit fajar”.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Sanad hadits ini adalah lemah, bahkan menurut Syeikh Al Albani adalah maudhu’ (palsu) karena di dalamnya terdapat perowi yang bernama Ibnu Abi Sabroh yang tertuduh sering memalsukan hadits sebagaimana dikatakan dalam At Taqrib. Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Ma’in juga berpendapat demikian yaitu Ibnu Abi Basroh sering memalsukan hadits. Sehingga Syeikh Al Albani berkesimpulan bahwa sanad hadits ini maudhu’ (palsu). (Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah, no. 2132)
[Hadits Ketiga]
رَجَبٌ
شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَانُ شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِي .
“Rajab adalah syahrullah (bulan Allah), Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku.”
Dalam Al Jami’ Ash Shogir (6839), Syeikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[Hadits Keempat]
من صلى ليلة
النصف من شعبان ثنتى عشرة ركعة يقرأ في كل ركعة قل هو الله أحد ثلاثين مرة، لم
يخرج حتى يرى مقعده من الجنة …
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak 12
raka’at, setiap raka’atnya membaca surat “Qul huwallahu ahad” sebanyak tiga
kali, maka dia tidaklah akan keluar sampai dia melihat tempat duduknya di surga
…”Hadits ini dibawakan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu). Ibnul Jauziy mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits maudhu’ (palsu) dan di dalamnya banyak perowi yang majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Maudhu’at, 2/129)
Demikian pembahasan kami mengenai panduan amalan di bulan Sya’ban. Semoga apa yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Semoga Allah selalu memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayib dan amalan yang diterima. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar