Ibnu
Rajab rahimahullah mengatakan
Kesimpulannya,
zuhud terhadap dunia bisa ditafsirkan dengan tiga pengertian yang kesemuanya
merupakan amalan hati dan bukan amalan tubuh. Oleh karenanya, Abu Sulaiman
mengatakan,
لاَ تَشْهَد
ْلأحَدٍ بِالزُّهْدِ، فَإِنَّ الزُّهْدَ فِي الْقَلْبِ
“Janganlah
engkau mempersaksikan bahwa seorang itu telah berlaku zuhud (secara lahiriah),
karena zuhud itu letaknya di hati”
Makna pertama
Zuhud adalah hamba lebih meyakini rezeki yang ada di tangan Allah
daripada apa yang ada di tangannya. Hal ini tumbuh dari bersih dan kuatnya keyakinan, karena
sesungguhnya Allah telah menanggung dan memastikan jatah rezeki setiap
hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,
وَمَا مِنْ
دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا (٦)
“Dan
tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya [Huud: 6].
Dia juga
berfirman,
وَفِي السَّمَاءِ
رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (٢٢)
“Dan di
langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan
kepadamu [Adz Dzaariyaat: 22].
فَابْتَغُوا
عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ (١٧)
“Maka
mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia [Ankabuut: 17].
Al Hasan
mengatakan,
إِنَّ مِنْ
ضَعْفِ يَقِينِكَ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ
“Salah
satu bentuk lemahnya keyakinanmu terhadap Allah adalah anda lebih meyakini apa
yang ada ditangan daripada apa yang ada di tangan-Nya”.
Diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan,
إِنَّ أَرْجَى
مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ إِذَا قَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ دَقِيقٌ
“Momen
yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka
mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah”
Masruq
mengatakan,
إِنَّ أَحْسَنَ
مَا أَكُونُ ظَنًّا حِينَ يَقُولُ الْخَادِمُ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ
وَلَا دِرْهَمٌ
“Situasi
dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di
rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah
(34871); Ad Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah
(2/97)].
Imam
Ahmad mengatakan,
أَسَرُّ
أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ أُصْبِحُ وَلَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ
“Hari
yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya
tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].
Abu Hazim
Az Zahid pernah ditanya,
مَا مَالُكَ؟
“Apa
hartamu”,
beliau
menjawab,
لِي مَالَانِ
لَا أَخْشَى مَعَهُمَا الْفَقْرَ: الثِّقَةُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِمَّا فِي أَيْدِي
النَّاسِ
“Saya
memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah
ats tsiqqatu billah (yakin kepada Allah) dan tidak mengharapkan harta yang dimiliki
oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963); Abu Nu'aim
dalam Al Hilyah 3/231-232].
Pernah
juga beliau ditanya,
أَنَا أَخَافُ
الْفَقْرَ وَمَوْلَايَ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
وَمَا تَحْتَ الثَّرَى؟ !
“Tidakkah
anda khawatir akan kefakiran?” Beliau menjawab, “Bagaimana bisa saya takut
fakir sementara Pemelihara-ku memiliki segala yang ada di langit, bumi, apa
yang ada diantara keduanya, dan di bawah tanah.”
Selembar
kertas pernah diserahkan kepada ‘Ali ibnu Muwaffaq, dia pun membacanya dan di
dalamnya tertulis,
يَا عَلِيَّ
بْنُ الْمُوَفَّقِ أَتَخَافُ الْفَقْرَ وَأَنَا رَبُّكَ؟
“Wahai
‘Ali ibnul Muwaffaq, masihkah engkau takut akan kefakiran sementara Aku adalah
Rabb-mu?”
Al Fudhai
bin ‘Iyadh mengatakan,
أَصْلُ
الزُّهْدِ الرِّضَا عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Akar zuhud
adalah ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla.” [Diriwayatkan
Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (960, 3045); Abu 'Abdirrahman As Sulami dalam
Thabaqatush Shufiyah (10)].
Beliau
juga mengatakan,
الْقَنُوعُ
هُوَ الزُّهِدُ وَهُوَ الْغِنَى
“Qana’ah
(puas atas apa yang diberikan oleh Allah ta’ala) merupakan sikap zuhud dan
itulah kekayaan yang sesungguhnya.”
Dengan
demikian, setiap orang yang merealisasikan rasa yakin kepada Allah,
mempercayakan segala urusannya kepada Allah, ridha terhadap segala
pengaturan-Nya, memutus ketergantungan kepada makhluk baik rasa takut dan
harapnya, dan semua hal tadi menghalanginya untuk mencari dunia dengan
sebab-sebab yang dibenci, maka setiap orang yang keadaannya demikian
sesungguhnya dia telah bersikap zuhud terhadap dunia. Dia termasuk orang yang
kaya meski tidak memiliki secuil harta dunia sebagaimana yang dikatakan oleh
‘Ammar,
كَفَى بِالْمَوْتِ
وَاعِظًا، وَكَفَى بِالْيَقِينِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغُلًا
“Cukuplah
kematian sebagai nasehat, yakin kepada Allah sebagai kekayaan, dan ibadah
sebagai kesibukan.” [Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (10556) dari
'Ammar bin Yasar secara marfu'].
Ibnu
Mas’ud mengatakan,
الْيَقِينُ
أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَا تَحْمَدَ أَحَدًا عَلَى رِزْقِ
اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ أَحَدًا عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ
لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ حَرِيصٍ، وَلَا يَرُدُّهُ كَرَاهَةُ كَارِهٍ، فَإِنَّ اللَّهَ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ وَحُكْمِهِ – جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ
فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ
“Al Yaqin
adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak
memuji seseorang demi mendapatkan rezeki yang berasal dari Allah, dan tidak
mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu.
Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak
akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan
keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di
dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan
kesedihan ada di dalam keraguan dan kebencian” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya
dalam Al Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].
Di dalam
sebuah hadits mursal disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdo’a dengan do’a berikut,
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِي، وَيَقِينًا [صَادِقًا] حَتَّى أَعْلَمَ
أَنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي رِزْقًا قَسَمْتَهُ لِي، وَرَضِّنِي مِنَ الْمَعِيشَةِ بِمَا
قَسَمْتَ لِي
“Ya Allah
saya memohon kepada-Mu iman yang mampu mengendalikan hatiku, keyakinan yang
benar sehingga saya mengetahui bahwasanya hal itu tidak menghalangi rezeki yang
telah Engkau bagikan kepadaku, dan jadikanlah saya ridha atas sumber
penghidupan yang telah Engkau bagikan kepadaku.” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya
dalam Al Yaqin (112)].
Dulu,
‘Atha Al Khurasani tidak akan beranjak dari majelisnya hingga mengucapkan,
اللَّهُمَّ
هَبْ لَنَا يَقِينًا مِنْكَ حَتَّى تُهَوِّنَ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، وَحَتَّى
نَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يُصِيبُنَا إِلَّا مَا كَتَبْتَ عَلَيْنَا، وَلَا يُصِيبُنَا
مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا قَسَمْتَ لَنَا
“Ya
Allah, berilah kami rasa yakin terhadap diri-Mu sehingga mampu menjadikan kami
menganggap ringan musibah dunia yang ada, sehingga kami meyakini bahwa tidak
ada yang menimpa kami kecuali apa yang telah Engkau tetapkan kepada kami, dan
meyakini bahwa rezeki yang kami peroleh adalah apa yang telah Engkau bagi
kepada kami.” [Driwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (108)].
Diriwayatkan
kepada kami secara marfu’ bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan,
مَنْ سَرَّهُ
أَنْ يَكُونَ أَغْنَى النَّاسِ، فَلْيَكُنْ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْهُ
بِمَا فِي يَدِهِ
“Barangsiapa
yang suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah dia lebih yakin terhadap apa
yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya.” [Diriwayatkan Abu
Nu'aim dalam Al Hilyah 3/218-219; Al Qadha'i dalamMusnad Asy Syihab (367 &
368) dari hadits 'Abdullah bin 'Abbas].
Makna Kedua
Zuhud adalah apabila hamba tertimpa musibah dalam kehidupan dunia
seperti hilangnya harta, anak, atau selainnya, maka dia lebih senang memperoleh
pahala atas hilangnya hal tersebut daripada hal itu tetap berada di sampingnya. Hal ini juga muncul dari
sempurnanya rasa yakin kepada Allah.
Diriwayatkan
dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam
do’anya,
اَللَّهُمَّ
اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ
طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا
مَصَائِبَ الدُّنْيَا
“Ya
Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami
dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang
mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan
menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.” [HR. Tirmidzi
(3502); An Nasaai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (402); Al Hakim (1/528); Al
Baghawi (1374). At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan gharib"].
Do’a
tersebut merupakan tanda zuhud dan minimnya kecintaan kepada dunia sebagaimana
yan dikatakan oleh ‘Ali radhiallahu ‘anhu,
مَنْ زَهِدَ
الدُّنْيَا، هَانَتْ عَلَيْهِ الْمُصِيبَاتُ
“Barangsiapa
yang zuhud terhadap dunia, maka berbagai musibah akan terasa ringan olehnya.”
Makna Ketiga
Zuhud adalah hamba memandang sama orang yang memuji dan mencelanya
ketika dirinya berada di atas kebenaran. Hal ini merupakan tanda bahwa dirinya zuhud terhadap dunia,
menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh, dan minimnya kecintaan dirinya kepada
dunia.
Sesungguhnya
setiap orang yang mengagungkan dunia akan cinta kepada pujian dan benci pada
celaan. Terkadang hal itu menggiring dirinya untuk tidak mengamalkan kebenaran
karena takut celaan dan melakukan berbagai kebatilan karena ingin pujian.
Dengan
demikian, setiap orang yang memandang sama orang yang memuji dan mencelanya
ketika dirinya berada di atas kebenaran, maka hal ini menunjukkan bahwa
jabatan/kedudukan yang dimiliki manusia tidaklah berpengaruh di dalam hatinya
dan juga menunjukkan bahwa hatinya dipenuhi rasa cinta akan kebenaran serta
ridha kepada Allah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,
الْيَقِينُ
أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ
“Yakin
itu adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan cara menimbulkan kemurkaan
Allah. Dan sungguh Allah telah memuji mereka yang berjuang di jalan-Nya dan
tidak takut akan celaan.”
Sumber : Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 644-646.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar