Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Sering
kita dengar pembahasan mengenai aurat wanita. Namun mungkin sedikit atau jarang
sekali kita mendengar pembahasan aurat para lelaki. Sering kita lihat bagaimana
sebagian pria menampakkan paha atau membuka aurat lainnya. Lalu manakah batasan
aurat pria yang terlarang dilihat oleh orang lain? Moga Allah memudahkan dalam
membahas hal ini.
Aurat Sesama Lelaki
Aurat
sesama lelaki –baik dengan kerabat atau orang lain- adalah mulai dari pusar
hingga lutut. Demikian menurut ulama Hanafiyah. Dalil dari hal ini adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّ
مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ
“Karena di
antara pusar sampai lutut adalah aurat.”
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa pusar sendiri bukanlah aurat. Mereka berdalil
dengan riwayat bahwa Al Hasan bin ‘Ali radhiyallhu ‘anhuma pernah menampakkan
auratnya lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menciumnya. Akan tetapi ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa lutut termasuk aurat. Mereka berdalil dengan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرُّكْبَةُ
مِنَ الْعَوْرَةِ
“Lutut
termasuk ‘aurat.” Namun hadits ini adalah hadits yang dho’if.
Apa saja
yang boleh dilihat oleh laki-laki sesama lelaki, maka itu boleh disentuh.
Sedangkan
ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa lutut dan pusar bukanlah aurat.
Yang termasuk aurat hanyalah daerah yang terletak antara pusar dan lutut. Hal
ini berdasarkan riwayat dari Abu Ayyub Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما فوق
الرّكبتين من العورة ، وما أسفل السّرّة وفوق الرّكبتين من العورة
“Apa saja
yang di atas lutut merupakan bagian dari aurat dan apa saja yang di bawah pusar
dan di atas lutut adalah aurat.” Namun riwayat ini dho’if.
Pendapat
terkuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa aurat lelaki sesama
lelaki adalah antara pusar hingga lutut. Artinya pusar dan lutut
sendiri bukanlah aurat. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu
a’lam.
Apakah Benar Paha Termasuk Aurat?
Sebagian
ulama memang berpendapat bahwa paha tidak termasuk aurat, artinya boleh
ditampakkan. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad dalam salah satu
pendapatnya, pendapat ulama Malikiyah, dan pendapat ulama Zhahiriyah (Ibnu
Hazm, cs). Di antara dalil yang menjadi pendukung adalah
berikut ini:
Anas bin
Malik berkata,
وَإِنَّ
رُكْبَتِى لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِىِّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، ثُمَّ حَسَرَ
الإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِىِّ اللَّهِ
– صلى الله عليه وسلم
“Dan saat
itu (ketika di Khaibar) sungguh lututku menyentuh paha Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat
paha Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang putih.”
Syaikh
Abu Malik menyanggah alasan dari Ibnu Hazm dengan hadits di atas, beliau hafizhohullah berkata, “Hadits di atas
dimaksudkan bahwa sarung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersingkap dengan
sendirinya, bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyingkapnya sendiri
dan beliau juga tidak menyengajainya. Hal ini didukung dengan riwayat dalam
Shahihain yang menyatakan “فانحسر الإزار”,
artinya sarung tersebut tersingkap dengan sendirinya.”
Dalil
lain yang menjadi pendukung pendapat ini adalah,
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُضْطَجِعًا فِى بَيْتِى كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ
سَاقَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ
(‘Aisyah
berkata), “Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang
berbaring di rumah saya dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya
terbuka. Tak lama kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk
ke dalam rumah beliau ….”
Syaikh
Abu Malik menyanggah pendapat yang berdalil bahwa paha bukan termasuk aurat
berdalil dengan hadits di atas, di mana beliau berkata,
Tidak
bisa kita mempertentangkan hadits yang jelas-jelas mengatakan batasan aurat
bagi pria dengan hadits-hadits umum yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan
semakin penguat lemahnya pendapat ini, yaitu terdapat dalam riwayat Muslim
suatu pertentangan, di mana perowi mengatakan paha dan betisnya. Di riwayat
lain dikatakan dengan lafazh “كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ
سَاقَيْهِ”, beliau menyingkap paha atau betisnya. Dan betis sama sekali
bukanlah aurat berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Kesimpulannya, yang lebih tepat dan lebih hati-hati dalam masalah ini, paha
adalah aurat. Itulah yang lebih rojih (kuat) berdasarkan alasan yang telah
dikemukakan di atas.
Aurat Lelaki dengan Wanita Lainnya
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa wanita boleh melihat selain pusar hingga lutut
dengan syarat selama aman dari fitnah (artinya tidak sampai
membuat wanita tersebut tergoda). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa dibolehkan
bagi wanita melihat pria sebagaimana pria dibolehkan melihat mahromnya, yaitu
selama yang dilihat adalah wajah dan athrofnya (badannya), ini juga dengan
syarat selama aman dari fitnah (godaan).
Sedangkan
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wanita tidak boleh melihat aurat lelaki dan
juga bagian lainnya tanpa ada sebab. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah
Ta’ala,
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS. An Nuur: 31)
Dalil
lainnya yang digunakan sebagai hujjah oleh Syafi’iyah adalah hadits dari Ummu
Salamah, ia berkata,
كُنْتُ
عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ
أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ
-صلى الله عليه وسلم- « احْتَجِبَا
مِنْهُ ». فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا
فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَفَعَمْيَاوَانِ
أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ ».
“Aku
berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Maimunah sedang
bersamanya. Lalu masuklah Ibnu Ummi Maktum -yaitu ketika perintah hijab telah
turun-. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Berhijablah
kalian berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah ia buta
sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam balik bertanya: “Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat
melihat dia?“ [Riwayat ini adalah riwayat
yang dho’if, lemah]
Abu Daud
berkata, “Ini hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidakkah engkau lihat bagaimana Fatimah binti Qais di sisi Ibnu
Ummi Maktum! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada
Fatimah binti Qais, ‘Bukalah hijabmu di sisi Ibnu Ummi Maktum, sebab ia adalah
seorang laki-laki buta, maka tidak mengapa engkau letakkan pakaianmu di
sisinya.”
Adapun
pendapat terkuat menurut madzhab Hambali, boleh bagi wanita melihat pria
lain selain auratnya. Hal ini didukung oleh hadits ‘Aisyah dan haditsnya muttafaqun
‘alaih. Dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata;
رَأَيْتُ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى
الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ
، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
“Aku
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutupiku dengan pakaiannya,
sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam
Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian
bisa seperti gadis belia yang suka bercanda.”
Yang
terkuat adalah pendapat terakhir, yaitu boleh bagi wanita melihat pria lain
selain auratnya karena dalil yang mendukung lebih shahih dan lebih kuat. Wallahu
a’lam.
Aurat Lelaki di Hadapan Istri
Tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan fuqoha bahwa tidak ada batasan aurat antara
suami istri. Semua bagian tubuhnya halal untuk dilihat satu dan lainnya, sampai
pun pada kemaluan. Karena menyetubuhinya saja suatu hal yang mubah (boleh).
Oleh karena itu melihat bagian tubuh satu dan lainnya –terserah dengan syahwat
atau tidak-, tentu saja dibolehkan.
Sebagian
ulama ada yang berpendapat bahwa dimakruhkan untuk memandang kemaluan satu dan
lainnya. Namun hadits yang digunakan adalah hadits yang dho’if. Hadits tersebut adalah,
إِذَا أَتَى
أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ
“Jika
salah seorang dari kalian mendatangi isterinya hendaklah dengan penutup, dan
jangan telanjang bulat.”
Akhir Tulisan: Nasehat bagi Penggemar Bola dan Penggemar Renang
Jika kita
sudah mengetahui manakah aurat lelaki, ada satu hal yang mesti kami ingatkan
tentang tersebarnya kekeliruan di tengah masyarakat mengenai aurat lelaki ini.
Yaitu seringkalinya kita melihat para pria buka-bukaan aurat, baik paha yang
disingkap –seperti ketika main bola- atau sengaja menyingkap bagian aurat lainnya –mungkin
saja ketika renang- dengan hanya memakai –maaf- ‘celana dalam’. Ini sungguh kekeliruan.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam
bersabda,
لاَ يَنْظُرُ
الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
“Seorang
laki-laki janganlah melihat aurat laki-laki lainnya. Begitu pula seorang wanita
janganlah melihat aurat wanita lainnya.” (HR. Muslim no. 338). Artinya, orang yang sengaja buka aurat
telah bermaksiat. Aurat sesama pria tentu saja tidak boleh dilihat, lantas
bagaimanakah dengan menonton pertandingan bola yang jelas sekarang ini sering
menampakkan paha karena celana yang digunakan begitu pendek?!
Wabillahit taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala
aalihi wa shohbihi wa sallam.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Referensi
utama: Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 31/50-53.
Riyadh-KSA,
on 23rd Muharram 1432 H (29/12/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1]
HR. Ahmad 2/187, Al Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanad
hadits ini hasan
[2]
HR. Ad Daruquthni 1/506. Dalam hadits ini terdapat Abul Janub dan dia termasuk
perowi yang dho’if.
[3]
HR. Al Baihaqi 2/229 dan Al Jaami’ Ash Shogir 7951. Dalam hadits ini terdapat
Sa’id bin Abi Rosyid Al Bashri dan ia termasuk perowi yang dho’if.
[4]
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin Asy Sayid Salim, Al Maktabah At
Taufiqiyah, 3/7.
[5]
HR. Bukhari no. 371 dan Muslim no. 1365.
[6]
Shahih Fiqh Sunnah, 3/7.
[7]
Shahih Fiqh Sunnah, 3/8.
[8]
HR. Abu Daud no. 4112, At Tirmidzi no. 2778, dan Ahmad 6/296. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[9]
Lihat Sunan Abi Daud Bab “Firman Allah Ta’ala: وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ “.
[10]
HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892.
[11]
HR. Ibnu Majah no. 1921. Ibnu Hajar menyatakan bahwa dalam hadits tersebut
terdapat Mandal dan ia dho’if (Mukhtashor Al Bazzar, 1/579). Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar