Minggu, 18 Mei 2014

Najis, Bagaimanakah Cara Membersihkan Najis


Cara Membersihkan Najis

Segala puji bagi Allah , shalwat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga harin Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang najis dan cara menyucikannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas  karena-Nya dan bermanfaat, allahumma amin.

Ta’rif  (defisini) najis

Najis adalah kotoran yang wajib di jauhi oleh seorang muslim dan wajib dicuci bagian yang terkena olehnya. Hukum asal sesuatu adalah suci dan mubah, tidak di benarkan mengatakan sesuatu itu najis tanpa dalil.

Macam-macam Najis
  •      Bangkai

Bangkai adalah binatang yang mati tanpa melalui proses penyembelihan. Dalil tentang najisnya bangkai adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اِذَا دُبِغَ الاِْهَابُ فَقَدْ طَهُرَ

“Apabila kulit (bangkai)di masak, maka ia menjadi suci.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Termasuk ke dalam bangkai adalah anggota badan binatang hidup yang di potong sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain. Namun tidak termasuk ke dalam najis apa yang disebutkan di bawah ini:

-          Bangkai ikan dan belalang, keduanyaadalah suci. Rasulullah shallallau ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dihalalkan untuk kita dua bangakai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad dan Baihaqi, Shahihul Jami’210)

-          Bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya, seperti lalat, semut dan lebah. Oleh karena itu, jika binatang-binatang ini jatuh ke dalam sesuatu yang mati di sana, maka tidaklah membuatnya najis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kamu maka tenggelamkanlah, kemudian tariklah karena kepada salah satu sayapnya ada penyakit, sedangkan pada sayap yang lain ada obatnya.” (HR. Bukhari)

-          Tulang bangkai, tanduknya, kukunya, rambutnya, giginya, mulutnya, dsb.
            Hal itu, karena hukum asalnya adalah suci.

  • Darah haidh
Dalil tentang najisnya darah haidh adalah hadits Asma’ binti Abi Bakar radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Ada seorang wanita yang dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata. “Pakaian salah seorang di antara kami terkena darah haidh, apa yang harus dilakukannya?” Beliau menjawab:
تَحُتُّهُ شُمَّ تَقْرِصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ
“Ia mengeriknya lalu menggosoknya dengan air, kemudian menyiramnya dan (boleh) mengenakan shalat dengannya.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz ini adalah lafaz muslim)

  • Daging babi

Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,

“Katakanlah, “Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang di wahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor.” (Terj. QS. Al An’aam:145)

  • Kencing dan kotoran manusia

Najisnya kencing dan kotoran manusia adalah perkara yang sudah maklum. Hanya saja diberikan keringanan pada kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan. Oleh karena itu, cara membersihkannya cukup dengan dipercikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَوْلُ الْغَلاَمِ يُنْضَحُ عَلَيْهِ , وَبَوْلُ الْجَارِيَةِ يُغْسَلُ
“Kencing bayi laki-laki dipercikan, sedangkan kencing bayi perempuan dicuci.”
Qatadah berkata, “Hal ini jika keduanya masih belum memakan makanan. Jika sudah, maka kencing keduanya harus dicuci.” (HR. Ahmad –ini adalah lafaznya-, juga diriwatkan oleh pemilik kitab Sunan selain Nasa’I, Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata;”Isnadnya shahih.”)

  • Madzy dan Wady

Madzy adalah air yang keluar dari kemaluan berwarna putih dan lengket, biasanya keluar ketika syahwat tinggi, namun tidak disudahi dengan lemas setelah keluarnya, berbeda dengan mani. Sedangkan Wady adalah air yang keluar dari kemaluan berwarna putih dan tebal, biasanya keluar setelah kencing. Madzy dan wady adalah najis. Dalil tentang najisnya wadzy adalah hadits  Ali radhiyallahu ‘anha ia berkata. “Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar madzy, aku malu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena puterinya, maka aku menyuruh Miqdad bin Aswad untuk bertanya kepada Beliau, sabdanya, “Hendaknya ia cuci kemaluannya dan berwudhu’.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim)
Jika madzi mengenai badan, maka wajib dicuci dan jika mengenai pakaian maka cukup dengan dipercikan (rasysy) dengan air. Dalil cukupnya memercikan pakaian yang terkena madzy  adala hadits Sahl bin Hunaif , ia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika madzi mengenai kainku?” Beliau menjawab, cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, lalu kamu percikkan ke kainmu sampai kamu melihat air tersebut telah mengenainya.” (Hasan, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Sedangkan dalil tentang najisnya wady adalah kata-kata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tengtang wady dan madzy, “Basuhlah dzarkarmu atau kemaluanmu dan berwudhu’lah seperti wudhu’mu untuk shalat.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi)

Tentang mani

Adapun mani, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa ia adalah najis, namun yang rajah bahwa mani itu suci, akan tetapi dianjurkan mencucinya jika basah dan mengeriknya jika kering. Aisyah radhiyallahu “anha berkata, “Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sudah kering dan mencucinya jika masih basah.” (HR. Daruquthni, Abu ‘Uwanah, dan Al Bazar)

  •   Kencing dan kotoran binatang yang tidak dimakan dagingnya

Dalil tentang najis adalah hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dating ke tempat buang hajat, lalu menyuruhku untuk membawa tiga buah batu. Aku mendapat dua buah batu dan mencari yang ketiganya, namun tidak menemukan, aku pun mengambil kotoran hewan dan membawanya, maka Beliau mengambil dua batu itu dan membuang kotoran hewan, Beliau bersabda, “Ini adalah najis.” (HR. Bukhari, dalam sebuah riwyat disebutkan: “Ia adalah najis, ia adalah kotoran keledai.”)

Namun dimaafkan jika hanya sedikit karena agak sulit menghindarkan diri darinya. Al Walid bin Muslim berkata, aku bertanya kepada Al Auza’iy, “Lalu bagaimana dengan kencing binatang yang tidak di makan dagingnya seperti bighal, keledai dan kuda?” Ia menjawab, “Dahulu orang-orang terkena hal itu dalam perang mereka, namun mereka tidak mencuci badan atau pakaian mereka.” Adapun kencing dan kotoran binatang yang di makan dagingnya, maka menurut Imam Malik, Ahmad dan jama’ah para ulama madzhab Syafi’I bahwa hal itu adalah suci. Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada salah seorang sahabat yang mengatakan najisnya.”

  • Binatang Jallaalah (pemakan kotoran)

Telah ada larangan menunggani binatanag jallaalah, memakan dagingnya dan meminum susunya. Ini semua menunjukan najisnya.”

  • Anjing

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طَهُورَ أَحَدِكُمْ اِذَا وَلَغَ فِيْهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْغَ مَرَّاتٍ , أُولاَهُنَّ بِا لتُّرَابِ

“Sucinya bejana (wadah) salah seorang di antara kamu apabila dijilati anjing adalah dengan dibasuh dengan tujuh kali, basuhan yang pertama (dicampur) dengan tanah.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi)

Kalau anjing menjilat suatu wadah yang di dalamnya terdapat makanan yang beku (jamid), maka di buang bagian yang dikenainya serta bagian sekitarnya, selebihnya bisa dimanfaatkan karena masih suci. Adapun jika di dalam wadah tersebut berisi air, maka air tersebut dibuang.

Diqiaskan dengan mulutnya adalah seluruh badannya (seluruh badannya juga najis), pendapat yang mengatakan najis ‘ain (badan) anjing adalah pendapat jumhur ulama.

Menyucikan badan dan pakaian

Pakaian dan badan jika terkena najis wajib dicuci dengan air samapai hilang najisnya. Hal ini jika najis tersebut dapat dilihat seperti dari haidh, namun jika masih tetap ada bekasnya dan sulit dihilangkan setelah dicuci, maka bekasnya itu dimaafkan. Dan jika najisnya tidak terlihat seperti air kencing, maka cukup dicuci meskipun hanya sekali. Jika najis menimpa bagian bawah paikan wanita, maka bisa disucikan oleh tanah.

Menyucikan tanah

Tanah bisa menjadi suci jika terkena najis dengan tuangkan air ke atasnya, bisa juga dengan membiarkannya hingga kering. Aisyah pernah mengatakan, “Sucinya tanah adalah dengan keringnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah).

Hal ini apabila najisnya cair, adapun jika najisnya bukan cair (benda padat) maka tidak bisa disucikan kecuali dengan menghilangkan ‘ainnya (benda padat tersebut) atau dengan memindahkannya.

Menyucikan samin dan semisalnya (seperti mentega,dsb.)

Dari Ibnu Abbas dari Maimunah: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tengtang tikus yang jatuh ke dalam samin, Beliau bersabda, “Buanglah tikus tersebut, dan buanglah bagian sekitarnya, kemudian makanlah samin kalian (sisanya).” (HR. Bukhari)

Al Hafizh berkata, “Ibnu ‘Abdil Bar menukilkan tentang sepakatnya ulama, bahwa barang yang beku apabila kejatuhan bangkai, maka dibuang bangkainya dan bagian sekitarnya, jika memang bagian bangkai tidak mengenai lebih dari itu. Adapun jika benda cair, maka para ulama berselisih, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa benda cair tersebut menjadi najis semuanya karena terkena najis, namun Az Zuhriy dan Al Auzaa’iy menyelishinya.”

Menyucikan cermin dan sebagainya

Menyucikan cermin, pisau, pedang, kuku, tulang, kaca, bejana dan semua benda berkilap yang tidak berlubang cukup dengan diusap dengan usapan yang menghilangkan bekas najis.

Menyucikan sandal

Menyucikan sandal atau khuff (sepatu yang menutupi dua kaki) yang terkena najis cukup dengan digosok-gosok ke tanah hingga hilang bekas najisnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila sandal salah seorang di antara kamu menginjak kotoran, maka tanah adalah pensucinya.” (shahih lighairih, diriwayatkan oleh Abu Dawud).
Wallahu a’lam.

Miraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Wajid (Abdul Azhim Badawi), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al jazari), dll.

Dinukil dari Buletin Al Islah.
Diposkan ulang oleh Buya Nirbuano

Syirik, ternyata sangat berbahaya


Mengenai syirik dan bahayanya

Segala puji bagi Allah,shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rosulullah, kepada keluarganya,kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat,amma ba’du.

Ta’rif (Definisi) syirik dan Bahayanya

Syirik adalah seseorang mengadakan tandingan bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala baik dalam rububiyyah maupun uluhiyyah.Dalam rububiyyah misalnya menganggap bahwa di samping Allah Ta’ala ada juga yang ikut serta mengatur alam semesta.Sedakan dalam uluhiyyah misalnya menyembah dan beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala.Namun umumnya,syirik itu terjadi dalam uluhiyyah (beribadah).
Syirik adalah dosa besar yang paling besar,dan termasuk 7 dosa besar yang membinakan seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

<< اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ >> . قَالُوا : يَارَسُولَ اللهِ , وَ مَا هُنَّ ؟ قَالَ :<< الشِّرْكُ بِاللهِ , وَالسِّحْرُ , وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ , وَأَكْلُ الرِّبَا , وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ , وَ التَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ , وَقَدْ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ >> .

“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan!” Para sahabat bertanya,”wahai Rasulullah,apa saja itu?” Beliau menjawab,”Syirik kepada Allah , melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan dan menuduh berzina wanita yang suci mukminah yang tidak tahu-menahu.”(HR.Bukhari-Muslim)

Di samping itu, Allah mengharamkan surge bagi orang yang meninggal di atas perbuatan syirik dan mengekalkan orang itu di neraka (lihat QS. Al Maa’idah :72).

Pembagiann Syirik

Syirik terbagi dua:
1.               
1.       Syirik Akbar (besar),

Syirik ini bisa terjadi dalam rububiyyah maupun dalam uluhiyyah. Dalam Rububiyyah telah di terangkan sebelumnya, sedangkan dalam Uluhiyyah adalah dengan mengerahkan ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (baik selain Allah itu para malaikat, para nabi, orang-orang yang sudah mati, kuburan, batu, keris, matahari, bulan, jin, maupun lainnya). Misalnya berdoa dan meminta kepada selain Allah, ruku dan sujud kepada selain allah, berkurban untuk selain Allah (seperti membuat sesaji untuk jin atau penghuni kubur), bertawakal kepada selain Allah dan segala bentuk penyembahan/ibadah lainnya yang ditunjukan kepada selain Allah Ta’ala.

2.         Syirik Ashghar (kecil)

Syirik kecil adalah perbuatan, ucapan atau niat yang di hukumi syirik oleh islam, karena bisa mengarah kepada Syirik Akbar dan mengurangi kesempurnaan tauhid seseorang. MIsalnya,
a.            Bersumpah dengan nama selain Allah (termasuk bersumpah dengan nama nabi atau lainnya), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

“Barang siapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka sungguh dia telah berbuat kufur atau syirik.”(HR.Trimidzi dan ia menghasankannya).

b.            Memakai gelang, cincin atau kalung sambil beranggapan bahwa benda-benda tersebut sebagai sebab sembuhnya dari penyakit atau terhindar dari bahay. Hal ini termasuk syirik ashghar, karena Allah sama sekali tidak menjadikan sebab sembuhnya penyakit dengan benda-benda tersebut. Dan bisa menjadi Syirik Akbar apa bila ia beranggapan bahwa benda-benda tersebut dengan sendirinya bisa menyembuhkan penyakit atau bisa menghindarkan bahaya dsb. Rasulullah shallallahu wa sallam bersabda: 
   
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barang siapa yang memakai jimat, maka ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no 6394).

c.            Riya’ (mengerjakan ibadah agar dipuji oleh manusia), Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

اِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ اللأَصْغَرُ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ الرِّيَاءُ يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمُ اذْهَبَوا اِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِى الذُّنْيَا فَنْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil .” Para sahabat bertanya,” Apa syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Riya’. Allah ‘Azza wa jallaakan berfirman kepada mereka (orang-orang yang berbuat riya’), ketika amal manusia diberi balasan, “Pergialah kalian kepada orang yang kalian riya’ karenya ketika di dunia! Lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan?” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani dalam shahihul jami’ no 1555).

d.            Mengerjakan ibadah tujuannya untuk mendapatkan dunia misalnya seseorang ingin menjadi imam masjid, muazin, atau khatib agar mendapatkan uang dsb. Orang yang seprti ini sia-sia amalnya, sebagaimana riya’ (lihat QS. Hud: 15-16). Kepada orang yang seprti ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَعِسَ عَبْدً الدِّيْنَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ اِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ وَاِنْ لَمْ يَعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَاِذَا شِيكَ فَلاَ انْتَقَشَ

“Celaka hamba dinar, hamba dirham, damn hamba khamishah (pakaian mewah). Jika diberi ia senang, jika tidak ia marah, celakalah ia dan tersungkurlah, kalau kena duri semoga tidak tercabut.” (HR. Bukhari)

e.                   Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu sehingga tidak melanjutkan keinginannya).

Abu Dawud meriwayatkan dari Muhammad bin Rasyid dari seseorang yang di dengarnya, bahwa kaum jahiliyyah merasa sial dengan bulan Shafar, mereka mengatakan, bahwa bulan itu adalah bulan sial, maka nabi shllallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan anggapan itu.

Ibnu Rajab berkata, “Mereka sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah yang terlarang. Demikian pula merasa sial dengan salah satu hari, seperti hari Rabu, dan anggapan sial menikah pada bulan Syawwal yang di yakini kaum jahiliyyah.”

Termasuk ke dalam hal ini adalah ketika ia mendengar suara burung gagak, ia beranggapan bahwa jika ia keluar dari rumah maka ia akan mendapat kesialan atau kecelakaan sehingga ia pun tidak jadi keluar,dsb.

Pelebur dosa thiyarah adalah dengan mengucapkan:

اَللهَمَّ لاَ خَيْرَ اِلاَّّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ اِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ اِلهَ غَيْرُكَ

“ Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada nasib sial kecuali yang engkau tentukan, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain-Mu.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla bersabda, “Barang siapa yang dihalangi maksudnya thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apa kaffaratnya?” Beliau menjawab,

أَنْ يَقُوْلَ اَحَدُهُمْ: اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ اِلاَّ خَيْرُكَ, وَلاَ طَيْرَ اِلاَّ طَيْرُكَ, وَلاَ اِلَهَ غَيْرُكَ

“Hendaknya salah seorang di antara mereka berkata, “Ya Allah, tidak ada kebaika kecuali kebaikan-Mu…dst.”( Hadits ini di nyatakan hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).

Termasuk syirk juga adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut ketika menafsirkan ayat “Falaa taj’aluu lillahi andaadaa…’artinya:”Maka janganlah kamu adakan bagi Allah tandingan-tandingan sedang kamu mengetahui”(Terj.QS. Al Baqarah:22):

“Tandingan-tandingan tersebut adalah perbuat syirk, di mana ia lebih halus daripada selimut di atas batu yang hitam di kegelapan malam, yaitu kamu mengatakan “Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan,” “Demi hidupku,” juga mengatakan “ Jika seandainya tidak ada anjing kecil  ini tentu kita kedatangan pencuri”, dan kata-kata “Jika seandainya tidak ada angsa di rumah ini tentu kita kedatangan pencuri”, juga pada kata-kata seseorang pada kawannya “Atas kehendak Allah dan kehedakmu’, dan pada kata-kata seseorang “Jika seandainya bukan karena Allah dan si fulan (tentu…)”, Janganlah kamu tambahkan fuolan padanya, semua itu syirk.”

Perbedaan syirk akbar (besar) dengan syirk ashghar (kecil)

Perbedaan syirk akbar dengan syirk ashghar adalah: Pertama, syirk besar dapat mengeluarkan seseorang dari islam sedangkan syirk kecil tidak. Kedua, syirk besar membuat seseorang kekal di neraka jika meninggal di atas perbuatan itu, sedangkan syirk kecil tidak. Ketiga, syirk besar menghapus seluruh amal sedangkan syirk kecil tidak.

Contoh Syirk lainnya.

Termasuk syirk pula di samping yang telah disebutkan adalah meyakini ramalan bintang (zodiak),  melakukan pellet, sihir atau santet, mencari (ngalap) berkah pada benda-benda yang dikeramatkan, memakai jimat, membaca jampi-jampi syirk, mengatakan bahwa hujan turun karena bintang ini dan itu tahun ini dan tahun itu, padahal hujan turun karena karunia Allah dan Rahmat-Nya.
Demikian pula mengatakan “Hanya Allah dan kamu saja harapanku”, “ Aku dalam lindungan Allah dan Kamu”, “Dengan nama Allah dan nama fulan” dan kalimat lain yang terkesan menyamakan Allah dengan Allah Ta’ala. Ini semua adalah syirk. Termasuk pula menaati ulama atau umara (pemerintah) ketika mengharamkan apa yang Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan.

Do’a agar terhindar dari Syirk.

Imam Bukhari dalam Al Adabul Mufrad meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ma’qil bin Yasar Ia berkata, “ Aku pernah pergi bersama Abu Bakar Ash Shiddiq menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau bersabda, “Wahai Abu Bakar, syirk itu di tengah-tengah kalian lebih halus daripada rayapan semut.” Abu Bakar berkata, “Bukankah syirk itu mengadakan tuhan lain di saping Allah?” Nabi shallallahi ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, syirk itu lebih halus daripada rayapan semut. Maukah kamu aku tunjukan sesuatu yang jika engkau ucapkan, maka akan hilang syirk itu baik sedikit maupun banyak?” Beliau bersabda, “Ucapkanlah,


اَللهُمَّ اِنِّىْ اَعُوْدُ بِكَ اَنْ اُشْرِكَ بِكَ وَ اَنَا اَعْلَمُ وَ اَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ اَعْلَمُ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku dalam keadaan  mengetahui dan aku minta ampunan-Mu dalam hal yang tidak aku ketahui.” (Disahihkan oleh Al Albani).

                                                                                                                             
 Maraji’: aqidatut Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Kitabut Tauhid (Syaikh M. bin Abdul Wahhab), Al Adabul Mufrad (Imam Bukhari), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

 dinukil dari buletin al Islah